Selasa, 01 Juli 2008

Aspek fisiologis, morfologis dan genetika tanaman terhadap cekaman rendaman

Fisiologis
Tanah yang terendam air merupakan cekaman abiotik yang mempengaruhi komposisi spesies dan produktifitas pada berbagai tanaman. Pada tanaman padi misalnya, rendaman dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang maksimal, namun pada beberapa spesies tanaman kelebihan air merupakan faktor penghambat produksi pada beberapa tempat dan situasi (Jackson, 2004), banjir terutama berpengaruh terhadap hasil biji (Setter and Waters, 2003). Hambatan utama yang disebabkan adanya rendaman pada spesies yang tidak bisa beradaptasi terhadap kekurangan oksigen adalah karena difusi oksigen di air lebih lambat 104 dibanding dengan di udara (Armstrong and Drew, 2002). Hal lainnya adalah adanya perubahan level hormone etilen dan beberapa produk dan beberapa produkmetabolisme anaerobic oleh mikroorganisme tanah seperti Mn 2+, Fe 2+, S 2_ H2S dan asam karbolat (Jackson and Colmer 2005). Lebih lanjut jika tanaman terendam secara total akan mengakibatkan kekurangan karbondioksida, cahaya, dan oksigen sehingga dapat mengakibatkan kematian tanaman (Jackson and Ram, 2003).
Namun demikian ada beberapa tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi fisiologi, semacam “escape” dari lingkungan yang terendam (Voesenek et al. 2003), mengurangi kekurangan oksigen dengan membentuk sistem aerasi internal yang efektif (anoxia tolerance) (Gibbs and Greenway, 2003), memiliki kemampuan untuk menghindar atau memperbaiki kerusakan akibat oksidasi selama “re-aeration” (Blokhina et al., 2003).
Mekanisme tanaman menghindari defesiensi oksigen adalah dengan mengatur pola ekpresi gen yang meningkatkan toleransi terhadap kondisi anaerob. Melalui jalur signal transduksi gen kelas I haemoglobin (Hb) yang merupakan gen yang teriinduksi akibat terjadinya kekurangan oksigen. Igamberdiev et al. (2005) melaporkan adanya interaksi haemoglobin dengan nitrit oxidase (NO), yang merupakan gas yang dihasilkan dari nitrat, hal ini ditemukan dalam jumlah yang banyak dalam sel yang kekurangan oksigen. Interaksi heamoglobin dengan NO ditambah dengan adanya etilen dapat menghasilkan energy dengan tanpa oksigen (anerob), akan tetapi hal ini dapat pula mengakibatkan turunnya pH yang ada disitoplasma yang dapat mengakibatkan terganggunya proses biokimia dan mengakibatkan kemungkinan yang fatal bagi sel. Felle (2005) melaporkan ada mekanisme spesies yang dapat melakukan pengaturan sumber proton yang bertanggungjawab terhadap pengasaman, dan pengaturan pH dapat memperpanjang hidup sel ketika terjadi defesiensi oksigen (anoxsia).
Pengaruh status nitrisi nitrogen dan fosfat awal terhadap respon ketahanan tanaman padi terhadap rendaman diteliti oleh Ella dan Ismail (2006). Mereka melaporkan bahwa kemampuan hidup beberapa genotipe padi tidak berkorelasi dengan status N awal pada daun, tetapi berkorelasi positif dengan status konsentrasi pati dan nisbah akar-pupus, serta kandungan klorofil yang tinggi sebelum diberi perlakuan rendaman. Dengan demikian budidaya tanaman yang baik tanpa terlalu memberikan N yang tinggi sebelum terjadi rendaman dapat meningkatkan kemmpuan hidup tanaman padi.

Morfologis
Saat terjadi rendaman total sampai pada bagian daun paling atas, sehingga fotosintesis menjadi terhambat akibat kurangnya karbondioksida ekternal dan adanya semacam naungan (shading). Pada beberapa tanaman adanya etilen membuat stimulasi untuk memanjangkan batang (shoot elongation), seperti pada padi, sehingga dapat melakukan “escape” dari cekaman rendaman. Pierik et al. (2005) membuktikan adanya pola kesamaan respon pemanjangan batang pada A. thaliana antara yang ternaungi tanpa rendaman dengan yang terendam pada tanaman amphibi Rumex palustris.
Salah satu mekanisme tanaman yang biasa hidup dalam keadaan terendam adalam memiliki jaringan aerankim. Seago et al (2005) melaporkan ada sebanyak 85 spesies dan 41 famili memiliki aerankim dengan pola berbeda-beda. Aerenkim merupakan ruangan interselular yang terbentuk dari kombinasi pertumbuhan sel dan pembelahan sel (expansigeny) pada angiospermae primitive, seperti pada Nymphaeales, kemudian pada angiospermae yang lebih maju hanya pada pembelahan sel saja kemudian aerankim dibentuk. Proses masuknya gas dari atmosfer melalui aerenkim sebagian besar terjadi karena difusi, namun demikian aliran masa dapat pula terjadi jikaa alur jalan aerenkima membentuk tahanan yang rendah untuk dapat memasukan gas. Armstrong and Armstrong (2005b) membuktikaan dalam penelitiannya bahwa oksigen dapat diregenerasi pada bagian batang tanaman alder melalui pendaya gunaan karbondioksida oleh sel klorofil. Mommer dan Visser (2005) mengidentifikasi penampilan mengidentifikasi tampilan morfologi daun yang melakukan fotosintesis dibawah air. Penelitian ini menyimpulkan adanya hubungan kecepatan mengabsorbsi karbondiosida berhubungan erat dengan pembentukan lapisan kutikula dan lamina yang semakin menipis. Armstrong and Armstrong (2005a) menggunakan external palarographic oxygen-sensing electrodes yang ditempatkan pada rhizospher untuk mengetahui proses keracunan sulfide pada akar tanaman padi. Mereka mengamati adanya reaksi reduksi dengan cepat terjadi karena berkurangnya oksigen di sekitar akar, sehingga mengakibatkan tekanan terhadap pemanjangan akar dan kemampuan mengambil air. Pada kondisi ini berlanjut sampai berhari-hari sulfide akan mengancurkan akar diikuti dengan tumbuhnya akar lateral. Sulfida juga dapat menghalangi aerankim dan jaringan pembuluh tanaman. Kekurangan oksigen pada akar juga disebabkan oleh nitrate yang dibebaskan dari bahan organik menghalangi oksigen untuk diserap oleh akar (Kirk and Kronzucker, 2005)

Genetika
Analisis pola ekpresi gen yang mengkarakteristik sel yang mengalami defesiensi oksigen dan mekanisme pengaturannya banyak diteliti oleh ahli genetik. Branco-Price et al. (2005) menganalisis genom A. thaliana yang diberi perlakuan kekurangan oksigen selama 12 jam, kemudian mengamati pola ekpresi, kecepatan translasi oleh protein dan level komplesitas polysome. Hasil penelitian mereka menunjukan rendahnya level nukleotida GC, yang berarti ada beberapa pasangan nukletioda pada mRNA yang tidak tertranslasi sehingga translasi lebuh cepat pada saat sel kekurangan oksigen. Produk protein hasil translasi kemungkinan sangat penting terutama untuk mempertahankan hidup dalam jangka pendek, dari kekurangan oksigen.
Gonzali et al (2005) menggunakan microarrays dan metode bioinformasi untuk menganalisis pola umum kecambah A.thaliana yang diperlakukan 6 jam tanpa oksigen (<10 ppm). Mereka meneliti bagaimana ekpresi dari 20.000 gen A. thaliana yang dianalisis oleh software. Hasil penelitian menunujukan 1600 gen terpengaruh oleh perlakuan 6 jam tanpa oksigen, dari sejumlah itu hanya sebagian kecil gen yang berhubungan dengan jalur fermentasi sukrosa. Mohanty et al. (2005) melaporkan beberapa untaian DNA dekat dengan promoter yang dapat menginduksi gen untuk berekpresi pada keadaan lingkungan anerob, untaian DNA ini merupakan tempat pengkatan faktor transkripsi. Faktor transkripsi adalah faktor protein yang memberikan signak kepada promoter untuk memulai proses transkripsi DNA.
Harada et al (2005) melakukan studi pada tanaman Potamogeton distinctus mengalami pemanjangan batang lebih cepat ketika keadaan suplai oksigen dihentikan dibandingkan dengan keadaan normal. Stimulasi anaerobik ini berhubungan erat dengan meningkatnya enzim sucrose synthase (SuSy), enzim yang berhubungan dengan degerasi sukrosa menjadi heksosa, senyawa yang lebih mudah terfermentasi. Pada peneletian yang lain Ookawara et al. (2005) meneliti pemanjangan batang yang disebabkan kekurangan oksigen pada tanaman Sagittaria pygmaea adanya enzim yang merenggangkan dinding sel berkaitan erat dengan akumulasi mRNA yang mengkode dua dari empat gen endotranglucosylase/hydrolase yang mengatur pemanjangan batang saat terjadi anoxia.
Penelitian yang lainnya dilakukan oleh Huang et al. (2005) yang melaporkan padi yang toleran anoxia mensintesis protein pyruvate orthophosphate dikinase (PPDK) yang mempunyai peran membentuk pyrophosphate (inorganic diphosphate, P2O74–) dari ATP. Pyrophospate mempunyai peran sebagai penganti ATP yang diperlukan pada proses glycolisis dan di dalam tonoplas untuk melakukan transpor proton. Mustroph et al. (2005) menggunakan kentang transgenik yang yang disisipi gen pyrophosphate. Tanaman transgenik memiliki kemampuan lebih toleran pada kondisi kurang oksigen disekitar akar dibandingan dengan tanaman nontransgenik, karena berhasil membentuk “upstream” heksosa. Kedua makalah ini mendukung pernyataan bahwa pyrophosphate memberikan toleransi metabolisme pada tanaman yang tercekaman kekurangan oksigen karena rendaman atau banjir.
Glykolisis yang kemudian dilanjutkan fermentasi alkohol merupakan rangkaian proses penghasil utama ATP ketika tanaman mengalami cekaman kekurangan oksigen, para peneliti tertaring terhadap bagaimana produk tersebut dihasilkan. Boamfa et al. (2005) menggunakan laser-photoacoustic untuk menetukan level output dari acetaldehyde dan etanol, senyawa yang dihasilkan dari rangkaian glykolisis dan fermentasi. Adanya perbedaan level toleransi pada tanaman padi yang terendaman bukan disebabkan karena perbedaan kecepatan melakukan fermentasi, melainkan disebabkan oleh kecepatan mengkonversi balik etanol menjadi acethaldehyde. Semakin cepat etanol dikonversi menjadi acethaldehyde kembali akan mengurangi kerusakan sel akibat adanya senyawa racun superoksida. Jalur detoksifikasi ini berjalan lebih cepat pada genotipe tanaman padi yang toleran rendaman dibanding dengan genotipe yang peka.
Mekanisme lain toleransi genotipe padi terhadap rendaman adalah adanya kemampuan beberapa genotipe padi yang memiliki gen ethelene response factor like protein (ERF). Gen ini telah dipetakan dengan menggunakan quantitative trait loci (QTL) pada varietas tahan FR13A terletak pada kromoso nomor 9 (Xu et al. 2004). Ada tiga lokus posisi gen ini yaitu Sub1A, Sub1B dan Sub1C (Toojindan et al 2003). Gen tersebut telah ditransfer pada varietas KDML 105 yang peka melalui prosedur backcross (Siangliw et al. 2003).

Daftar Pustaka
Armstrong J, Armstrong W. 2005a. Rice: sulfide-induced barriers to root radial oxygen loss, Fe2+ and water uptake, and lateral root emergence. Annals of Botany 96: 625–638.
Armstrong W, Armstrong J. 2005b. Stem photosynthesis not pressurised ventilation is responsible for light-enhanced oxygen supply to submerged roots of alder (Alnus glutinosa). Annals of Botany 96: 591–612.
Armstrong W, Drew MC. 2002. Root growth and metabolism under oxygen deficiency. In: Waisel Y, Eshel A and Kafkafi U, eds. Plant roots: the hidden half, 3rd edn. New York: Marcel Dekker, 729–761.
Blokhina O, Virolainen E, Fagerstedt KV. 2003. Antioxidants, oxidative damage and oxygen deprivation stress: a review. Annals of Botany91: 179–194.
Boamfa EI, Veres AH, Ram PC, Jackson MB, Reuss J, Harren FJM. 2005. Kinetics of ethanol and acetaldehyde release suggest a role for acetaldehyde production in tolerance of rice seedlings to micro-aerobic conditions. Annals of Botany 96: 727–736.
Branco-Price C, Kawaguchi R, Ferreira RB, Bailey-Serres J. 2005. Genome-wide analysis of transcript abundance and translation in Arabidopsis seedlings subjected to oxygen deprivation. Annals of Botany 96: 647–660.
Ella ES, AM Ismail. 2006. Seedling Nutrient Status before Submergence Affects Survival after Submergence in Rice. Crop Sci. 46:1673-1681
Felle HH. 2005. pH regulation in anoxic plants. Annals of Botany 96:519–532.
Gibbs J, Greenway H. 2003. Mechanisms of anoxia tolerance in plants. I. Growth, survival and anaerobic catabolism. Functional Plant Biology 30: 1–47.
Gonzali S, Loreti E, Novi G, Poggi A, Alpi A, Perata P. 2005. The use of microarrays to study the anaerobic response in Arabidopsis. Annals of Botany 96: 661–668.
Harada T, Satoh S, Yoshioka T, Ishizawa K. 2005. Expression of sucrose synthase genes involved in enhanced elongation of pondweed (Potamogeton distinctus) turions under anoxia. Annals of Botany 96: 683–692.
Huang S, Greenway H, Colmer TD, Millar AH. 2005. Protein synthesis by rice coleoptiles during prolonged anoxia: implications for glycolysis, growth and energy utilization. Annals of Botany 96: 703–715.
Igamberdiev AU, Baron K, Manac'h-Little N, Stoimenova M, Hill RD. 2005. The haemoglobin/nitric oxide cycle: involvement in flooding stress and effects on hormone signalling. Annals of Botany 96: 557–564.
Jackson MB. 2004. The impact of flooding stress on plants and crops. http://www.plantstress.com/Articles/waterlogging_i/waterlog_i.htm
Jackson MB, T D Colmer. 2005. Response And Adaptation By Plants To Flooding Stress. Annals of Botany 96: 501-505
Jackson MB, Ram PC. 2003. Physiological and molecular basis of susceptibility and tolerance of rice plants to complete submergence. Annals of Botany 91: 227–241.
Kirk GJD, Kronzucker HJ. 2005. The potential for nitrification and nitrate uptake in the rhizosphere of wetland plants: a modelling study. Annals of Botany 96: 639–646.
Mohanty B, Krishnan SPT, Swarup S, Bajic VB. 2005. Detection and preliminary analysis of motifs in promoters of anaerobically induced genes of different plant species. Annals of Botany 96: 669–681.
Mommer L, Visser EJW. 2005. Underwater photosynthesis in flooded terrestrial plants: a matter of leaf plasticity. Annals of Botany 96: 581–589.
Mustroph A, Albrecht G, Hajirezaei M, Grimm B, Biemelt S. 2005. Low levels of pyrophosphate in transgenic potato plants expressing E.coli pyrophosphatase lead to decreased vitality under oxygen deficiency. Annals of Botany 96: 717–726.
Ookawara R, Satoh S, Yoshioka T, Ishizawa K. 2005. Expression of -expansin and xyloglucan endotransglucosylase/hydrolase genes associated with shoot elongation enhanced by anoxia, ethylene and carbon dioxide in arrowhead (Sagittaria pygmaea Miq.) tubers. Annals of Botany 96: 693–702.
Pierik R, Millenaar FF, Peeters, AJM, Voesenek LACJ. 2005. New perspectives in flooding research: the use of shade avoidance and Arabidopsis thaliana. Annals of Botany 96: 533–540.
Seago JL Jr, Marsh LC, Stevens KJ, Soukup A, Votrubová O, Enstone DE. 2005. A re-examination of the root cortex in wetland flowering plants with respect to aerenchyma. Annals of Botany 96:565–579.
Setter TL, Waters I. 2003. Review of prospects for germplasm improvement for waterlogging tolerance in wheat, barley and oats. Plant and Soil 253: 1–34.
Siangliw M, Toojinda T, Tragoonrung S, Vanavichit A. 2003. Thai Jasmine rice carrying QTLch9 (SubQTL) is submergence tolerant. Annals of Botany 91: 255–261.
Toojinda T, Siangliw M, Tragoonrung S, Vanavichit A. 2003. Molecular genetics of submergence tolerance in rice: QTL analysis of key traits. Annals of Botany 91: 243–253.
Voesenek LACJ, Benschop JJ, Bou J, Cox MCH, Groeneveld HW, Millenaar FF, Vreeburg RAM, Peeters AJM. 2003. Interactions between plant hormones regulate submergence-induced shoot elongation in the flooding-tolerant dicot Rumex palustris. Annals of Botany 91: 205–211.
Xu Kenong, Rashmi Deb, and David J. Mackill. 2004. A Microsatellite Marker and a Codominant PCR-Based Marker for Marker-Assisted Selection of Submergence Tolerance in Rice. Crop Sci. 44:248–253

Minggu, 15 Juni 2008

Lysenko vs Mendel

LYSENKO VS MENDEL
Trofim Denisovich Lysenko
Trofim Denisovich Lysenko (Rusia:Трофи́м Дени́сович Лысе́нко)(29 November 1898-20 November 1976) adalah seorang ahli biologi ternama di Uni Soviet dan merupakan direktur ilmu biologi Soviet pada era Stalin. Lysenko menolak teori genetika Mendel untuk menghargai Ivan Michurin, seorang hortikulturis-darwinis dan menggabungkannya menjadi sebuah pergerakan politik ilmu pengetahuan yang dikenal dengan ajaran Lysenkoisme. Teorinya ini di praktekkan di seluruh ladang di Uni Soviet yang mengakibatkan kegagalan panen di ladang-ladang gandum Uni Soviet pada tahun 1930-an. Pada tahun 1940, Lysenko menjadi direktur Institut Genetika dibawah Akademi Pengetahuan Uni Soviet, dan teori Lysenko dilindungi oleh pemerintahan Stalin dan diajarkan di sekolah-sekolah pertanian.
Walaupun Lysenko bertahan di Institut Genetika sampai 1965, tapi teori anti-Mendelnya tidak diakui lagi. Selain karena program de-Stalinisasi, teorinya juga ditolak karena bertentangan dengan teori agrikultur modern.
Lysenko, anak dari Denis dan Oksana Lysenko, dilahirkan dari keluarga seorang petani di Ukraina dan belajar di Institut Pertanian Kiev. Tahun 1927, ia bekerja di laboratorium pemantau pertanian di Azerbaijan. Dia mulai terkenal ketika koran Pravda memuat hasil penelitiannya tentang metode panen tanpa menggunakan bahan mineral seperti pupuk. Dia yakin, bahwa panen bisa diusahakan dengan memakai biji-bijian tanaman pada musim dingin untuk dipakai kembali pada musim berikutnya. Tahun berikutnya, percobaan ini terbukti gagal.
Beberapa media Uni Soviet membicarakan percobaan lanjutan Lysenko dalam masalah pertanian. Dari tahun 1927-1964, percobaan teori Lysenko dengan ajaibnya berhasil, dan laporan-laporan tentang kegagalan percobaannya segera ditutupi dengan keberhasilan yang ajaib itu. Selain itu, Lysenko mengagumi dan dibanggakan dengan gambar "Manusia Besar"-yaitu simbolisasi petani jenius Soviet - Lysenko.
Pada akhir 1920-an, Lysenko mulai didukung oleh beberapa pemimpin Soviet seperti Joseph Stalin. Dukungan ini berakibat pada penggunaan wajib teori Lysenko pada bidang pertanian di Uni Soviet, karena teorinya ini dilindungi oleh Partai Komunis Uni Soviet.
Lysenko juga menghabiskan banyak waktu untuk menolak hal-hal yang sebenarnya benar menurut ilmu pengetahuan. Contohnya, ia mengatakan bahwa percobaan tidaklah harus disebuah laboratorium yang terisolasi. Teori Lysenko segera mendpat acungan jempol dan dipuji-puji oleh Stalin dalam setiap pidatonya.
Stalin adalah pendukung setia teori Lysenko. Terbukti ketika seorang ahli biologi molekular Soviet, Nikolai Vavilov, menyatakan dengan jelas bahwa ia menentang teori ini. Stalin tidak diam begitu saja, dan mengirimkan agen NKVD untuk menculik Vavilov dari rumahnya. Vavilov dikenai hukuman karena dicurigai ingin menghancurkan pertanian Soviet. Akhirnya, Vavilov dikirim ke kamp kerja paksa di Saratov dan meninggal disana.
Setelah era Stalin, Lysenko langsung mendapat promosi dari Khrushchev untuk tetap di jabatannya. Pada masa ini, pemerintah Soviet melonggar seiring dengan proyek de-Stalinisasi. Mulai muncul banyak kritik dari ilmuwan-ilmuwan Soviet, seperti Yakov Borisovich Zel'dovich, Vitaly Ginzburg, and Pyotr Kapitsa. Mereka menyatakan bahwa teori Lysenko adalah ilmu pengetahuan yang salah.
Bahkan, peraih Nobel Biologi, Andrei Sakharov berkata seperti ini di depan Sidang Umum Akademi Sains Uni Soviet :
Dia (Lysenko) bertanggung jawab atas hasil yang memalukan dalam ilmu biologi Soviet dan juga genetika, dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang salah, penyalahan pembelajaran dan kematian ilmuwan Soviet yang pintar
Lysenko mati pada tahun 1976.
Diperoleh dari <http://id.pandapedia.com/Trofim Lysenko>14/4/2008


Gregor Mendel
Ilmu prinsip dasar keturunan layak berterima kasih kepada penemunya, Gregor Mendel, pendeta Austria tak terkenal, ilmuwan amatir yang obyek penyelidikan briliannya semula tidak diacuhkan oleh dunia ilmu.
Mendel dilahirkan tahun 1822 di kota Heinzendorf di daerah daulat kerajaan Austria yang kini masuk bagian wilayah Cekosiowakia. Tahun 1843 dia masuk biara Augustinian, di kota Brunn, Austria (kini bernama Brno, Ceko). Dia menjadi pendeta tahun 1847. Tahun 1850 dia ikut ujian peroleh ijasah guru, tetapi gagal dan dapat angka terburuk dalam biologi! Meski begitu, kepada pendeta di biaranya mengirim Mendel ke Universitas Wina, dari tahun 1851-1853 dia belajar matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Mendel tak pernah berhasil mengantongi ijasah guru resmi, tetapi dari tahun 1854-1868 dia menjadi guru cadangan ilmu alam di sekolah modern kota Brunn.
Sementara itu, mulai tahun 1856 dia memperlihatkan pengalaman-pengalamannya yang masyhur di bidang pembiakan tumbuh-tumbuhan. Menjelang tahun 1865 dia sudah menemukan hukum keturunannya yang kesohor dan mempersembahkan kertas kerjanya di depan perkumpulan peminat sejarah alam kota Brunn. Tahun 1866 hasil penyelidikannya diterbitkan oleh majalah Transactions milik perkumpulan itu di bawah judul "Experiments with Plant Hybrids." Kertas kerja keduanya diterbitkan oleh majalah itu juga tiga tahun kemudian. Kendati majalah itu bukanlah majalah besar, tetapi banyak terdapat di pelbagai perpustakaan besar. Di samping itu Mendel mengirim satu salinan kepada Karl Nageli, seorang tokoh disegani di bidang ilmu keturunan. Nageli membaca salinan itu dan kirim balasan kepada Mendel tetapi dia tidak paham apa yang teramat penting dalam salinan kertas kerja Mendel itu. Sesudah itu umumnya kertas kerja Mendel diabaikan dan nyaris dilupakan orang hampir tiga puluh tahun lamanya.
Tahun 1866 Mendel naik pangkat ditunjuk jadi pendeta kepala di biaranya. Kesibukan administrasi rutin membuatnya kehabisan tempo melanjutkan penyelidikannya dalam bidang tanam-tanaman. Ketika dia meninggal tahun 1884 dalam usia enam puluh satu, penyelidikan briliannya nyaris dilupakan orang dan dia tak peroleh pengakuan apa pun untuk penyelidikan itu.
Jerih payah Mendel baru diketemukan kembali tahun 1900 oleh tiga ilmuwan dari tiga bangsa yang berbeda-beda: Hugo de Vries dari Negeri Belanda, Carl Correns dari Jerman dan Erich von Tschermak dari Austria. Mereka bekerja secara terpisah tatkala menemukan artikel Mendel. Masing-masing mereka sudah punya pengalaman sendiri di bidang botani. Masing-masing secara tersendiri menemukan hukum Mendel. Dan masing-masing (sebelum menerbitkan buku) secara seksama mempelajari hasil kerja Mendel dan masing-masing pula menjelaskan bahwa penyelidikannya memperkuat pendapat Mendel. Satu kebetulan segitiga yang aneh! Lebih dari itu, di tahun itu juga, William Bateson, ilmuwan berkebangsaan Inggris, menemukan pula kertas kerja Mendel yang asli dan segera mengedepankan kepada kalangan dunia ilmu. Di penghujung tahun itu Mendel dapat sambutan meriah dan penghargaan atas begitu hebat karya-karya yang dilakukannya selama masa hidupnya.
Bukti-bukti apakah perihal keturunan yang sudah ditemui Mendel? Pertama, Mendel mengetahui bahwa pada semua organisme hidup terdapat "unit dasar" yang kini disebut gene yang secara khusus diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Dalam dunia tumbuh-tumbuhan yang diselidiki Mendel, tiap ciri pribadi, misalnya warna benih, bentuk daun, ditentukan oleh pasangan gene. Suatu tumbuhan mewariskan satu gene tiap pasang dari tiap "induk"-nya. Mendel menemukan, apabila dua gene mewariskan satu kualitas tertentu yang berbeda (misalnya, satu gene untuk benih hijau dan lain gene untuk benih kuning) akan menunjukkan dengan sendirinya dalam tumbuhan tertentu itu. Tetapi, gene yang berciri lemah tidaklah terhancurkan dan mungkin diteruskan kepada tumbuhan keturunannya. Mendel menyadari, tiap kegiatan sel atau gamete (serupa dengan sperma atau telur pada manusia) berisi cuma satu gene untuk satu pasang. Dia juga menegaskan, adalah sepenuhnya suatu kebetulan bilamana gene dari satu pasang terjadi pada satu gamete dan diteruskan kepada keturunan tertentu.
Hukum Mendel, meski sudah dilakukan perubahan kecil, tetap merupakan titik tolak dari ilmu genetika modern. Bagaimana Mendel selaku seorang amatir mampu menemukan prinsip yang begitu penting yang menyisihkan begitu banyak biolog profesional yang masyhur yang ada sebelumnya? Untungnya, dia memilih untuk bidang penyelidikannya jenis tumbuhan yang ciri-ciri khasnya ditentukan oleh seperangkat gene. Kalau saja ciri-ciri pokok yang diselidikinya masing-masing sudah ditentukan oleh pelbagai perangkat gene, penyelidikannya akan menghadapi kesulitan yang luar biasa. Tetapi, keberuntungan ini tidak akan menolong Mendel kalau saja dia tidak punya sifat kecermatan yang dahsyat dan kesabaran seorang pencoba, dan juga tidak akan menolongnya apabila dia tidak menyadari bahwa perlu membuat analisa statistik dari pengamatannya. Karena faktor contoh-contoh di atas, umumnya mungkin tidak bisa diduga jenis kualitas mana sesuatu keturunan akan mewariskan. Hanya lewat sejumlah besar percobaan (Mendel sudah mencatat hasil lebili dari 21.000 tumbuh-tumbuhan!), dan lewat analisa hasil-hasilnya, Mendel dapat menarik kesimpulan terhadap hukum-hukumnya.
Jelaslah, hukum keturunan merupakan penambah penting buat pengetahuan manusia, dan pengetahuan kita tentang genetika mungkin akan lebih dapat dipraktekkan di masa depan daripada sebelumnya. Ada pula faktor yang tak boleh diabaikan kalau kita memutuskan dimana Mendel mesti ditempatkan dalam urutan daftar buku ini. Karena penemuannya diremehkan di saat hidupnya, dan kesimpulan-kesimpulannya diketemukan oleh ilmuwan yang datang belakangan, penyelidikan Mendel dianggap tidak berdiri sendiri. Apabila alasan ini dipaksakan, orang bisa berkesimpulan bahwa Mendel mungkin bisa tersisihkan sepenuhnya dari daftar, seperti halnya Leif Ericson, Aristarchus, Ignaz Semmelweiss telah disisihkan guna memberikan tempat buat Colombus, Copernicus dan Joseph Lister.
Tetapi, ada beda antara kasus Mendel dengan lainnya. Pekerjaan Mendel terlupakan hanya sebentar, dan begitu diketemukan kembali, segera melangit. Lebih jauh dari itu, de Vries, Correns, dan Tschermak, meskipun mereka menemukan kembali prinsip-prinsipnya secara independen, toh dia baca karya Mendel dan mengutip hasil-hasilnya. Akhirnya, orang tidak bisa bilang karya Mendel tak berpengaruh kendati de Vries, Correns dan Tschermak tak pernah hidup di dunia. Artikel-artikel Mendel sudah tersebar luas riwayat-riwayatnya (oleh W.O. Focke) sekitar masalah keturunan. Tulisan itu cepat atau lambat sudah dapat dipastikan akan diketemukan juga oleh mahasiswa-mahasiswa yang serius di bidang itu. Juga layak dicatat, tak satu pun dari ketiga ilmuwan itu yang menuntut bahwa merekalah penemu ilmu genetika. Juga, secara umum dunia ilmu sudah menyebutnya sebagai "Hukum Mendel."
Penemuan Mendel kelihatannya bisa dibandingkan dengan penemuan Harvey, baik dari segi orisinalnya maupun arti pentingnya tentang peredaran darah, dan dia sudah ditempatkan pada urutan yang sewajarnya.
Sumber : http://media.isnet.org/iptek/100/Mendel.html

Intensifikasi Pertanian

PANCA USAHA TANI DAN PERKEMBANGANNYA (DARI BIMAS HINGGA PTT)
Pada tahun 1950 an upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi padi ditekankan pada perluasan areal sawah dan pembangunan dan perluasan system irigasi. Pada era tersebut peningkatan luas lahan sawah di indonesia meningkat cepat karena ada konversi lahan tebu menjadi lahan padi. Rata-rata produksi padi pada tahun 1956-1960 hanya mencapai 2 ton per hektar (Jatileksono, 1987).
Swasembada beras sudah menjadi program utama pemerintah pada tahun 1960. Sehingga pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan produksi padi guna memenuhi kebutuhan dikarenakan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Program Intesifikasi pertanian terutama untuk meningkatkan produksi padi mulai dilakukan pada tahun 1960 an melalui program BIMAS (Bimbingan Masal). Program ini memiliki lima kegiatan utama dalam pertanian atau disebut Panca Usaha Tani, yang meliputi lima paket teknologi yaitu :
1. Penggunaan varietas unggul
2. Pemupukan
3. Pengendalian hama dan penyakit
4. Irigasi
5. Pengolahan tanah yang baik
Pada pertengahan tahun 1960 program BIMAS digalakan secara nasional. Pada tahun1968 program ini telah mencapai satu juta hektar. Kemudian pemerintah mengucurkan dana bantuan kredit dan subsidi melalui program INMAS (Intensifikasi Masal). Pada tahun 1979 pemerintah meluncurkan program INSUS (Intensifikasi Khusus), yang meningkatkan efektifitas penerapan teknologi Pasca Usaha Tani melalui kelompok-kelompok tani dengan luas areal per kelompok rata-rata 50 hektar,setiap kelompok diberi bantuan kredit modal dalam menjalankan usaha pertaniannya (Lokollo, 2002)
Kemudian pada tahun 1980 an pemerintah meluncurkan program SUPRAINSUS (SI). Program ini merupakan pengembangan dari Panca Usaha Tani untuk mewujudkan peningkatan produktivitas tanaman padi. Secara umum dengan menerapkan teknologi S I Paket D yang meliputi 10 teknik budidaya padi yang baku, yaitu:
1. Penanaman varietas unggul
2. Penyiapan tanah secara sempurna, (air : tanah = 1:1)
3. Penggunaan benih bermutu dan berlabel biru
4. Pemupukan berimbang
5. Penggunaan ZPT atau pupuk cair
6. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan konsep PHT
7. Penggunaan air secara teratur dan efisien
8. Penerapan pola tanam
9. Perbaikan pascapanen
10. Populasi tanaman >200.000/ha
Pada tahun 2002 pemerintah meluncurkan program Pengelolaan Tanaman Terpada (PTT), program ini berbeda dengan SI dalam hal penekanan terhadap komponen teknologi yang diterapkan (Suyamto et al, 2007). PTT lebih menekankan komponen teknologi yang mempunyai efek sinergis. Sebagai contoh, pemakaian benih bermutu dan berlabel dalam SI dirinci menjadi pemakaian varietas unggul, benih bermutu, bibit muda, dan populasi tanaman optimal. Pemupukan berimbang dalam SI dirinci menjadi pemupukan N berdasarkan BWD, pemupukan P&K berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), dan penggunaan bahan organik. Pengendalian OPT dan PHT dalam SI dirinci menjadi pengendalian gulma terpadu, dan pengendalian hama penyakit terpadu. Penggunaan air secara teratur dan efisien dalam SI dirinci menjadi penerapan pengairan berselang (intermittent). Selanjutnya, pengurangan kehilangan hasil waktu panen dan pascapanen diarahkan kepada penggunaan kelompok pemanen dan alsintan. Namun, sistem komando yang top down dirasakan sangat kental dalam pelaksanaan SI tidak dilaksanakan dalam pemasyarakatan PTT.
Urutan anjuran teknologi produksi padi pada PTT adalah:
1. Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan atau bernilai ekonomi tinggi.
2. Penggunaan benih bersertifikat dengan mutu bibit tinggi.
3. Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi.
4. Penggunaan kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan pembenah tanah.
5. Pengelolaan bibit dan tanaman padi sehat melalui:
· pengaturan tanam sistem legowo, tegel, maupun sistem tebar benih langsung, dengan tetap mempertahankan populasi minimum.
· penggunaan bibit dengan daya tumbuh tinggi, cepat dan serempak yang diperoleh melalui pemisahan benih padi bernas (berisi penuh),
· nanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1-3 bibit per lubang.
· pengaturan pengairan dan pengeringan berselang, dan
· pengendalian gulma.
6. Pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan terpadu.
7. Penggunaan alat perontok gabah mekanis ataupun mesin.
Selama tahun 2006 program PTT telah diadopsi di tingkat petani seluas 0,5 juta hektar, dan diharapkan dapat mencapai 2,5 juta hektar lima tahun berikutnya.
Bersamaa dengan program PTT muncul program Sytem Rice Intensification (SRI) yang diinisiasi oleh Dr. Norman Upoff, dari Cornell University Amerika. Dia melakukan penelitian di Madagaskar dan telah menerapkan SRI dibeberapa Negara penghasil beras di dunia termasuk di Indonesia. SRI secara intensif disebar luaskan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Indonesia. Pada dasarnya teknologi yang diterapkan oleh model PTT dan SRI sama, hanya strateginya berbeda. Strategi SRI lebih dipusatkan pada penggunaan bahan organik. Penggunaan bahan organik yang diintegrasikan dengan teknik pengairan berkala akan mampu menyediakan hara untuk kebutuhan tanaman padi. Namun peneliti dari IRRI menyatakan banyak kelemahan yang ada dalam SRI, yaitu pertama pemberian bahan organic/pupuk kandang sebanyak 10 ton per hektar tidak efesien dan yang kedua penggunaan jarak tanam renggang mengakibatkan kurangnya populasi tanaman, sehingga tangkapan radiasi matahari untuk dikonversikan menjadi hasil gabah padi menjadi kurang
PERKEMBANGAN VARIETAS UNGGUL PADI DALAM PROGRAM INTENSIFIKASI PADI DI INDONESIA.
Kegiatan pemuliaan tanaman padi di Indonesia telah dimulai sejak 1905 dengan berdirinya General Agricultural Research Station (GARS) at Bogor. Dengan menggunakan gen pool plasma nutfah padi yang seadanya persilangan tanaman padi telah tercatat sejak tahun 1920an (Darwanto,1993). Pada tahun 1941, Lembaga Pusat Penelitia Pertanian (LP3) merakit beberapa varietas padi seperti Bengawan, Fajar, Peta, kemudian diikuti Sigadis (1953), Remaja (1954) dan Jelita (1955). Pada tahun 1960 varietas berdaya hasil tinggi Dara, kemudian diikuti oleh Shinta (1963), Dewi Tara (1964), Arimbi dan Bathara (1965).
Bersamaan dengan program BIMAS maka diintroduksi varietas IR8 dan IR5 dari Internatioal Rice Research Institute (IRRI). Pada tahun 1969 dilepas varietas semi dwarf pertama hasil rakitan Indonesia yaitu Dewi Ratih. Pada tahun 1970 di rakit varietas Pelita 1/I dan Pelita 1/II yang mempunyai rasa nasi enak.
Pada tahun 1970 terjadi ledakan hama wereng, sejumlah varietas padi yang ada di Indonesia tidak tahan terhadap hama itu. Mulai lah introduksi varietas IR26 dan IR28 untuk mengatasi hama tersebut pada tahun 1978. Beberapa Varietas menjadi varietas anjuran dalam program INSUS dan SUPRA INSUS. Varietas-varietas tersebut tahan terhadap hama wereng jenis biotipe1. Program penyeragaman varietas pada INSUS dan SI, mengakibatkan hama wereng dapat mematahkan ketahanan varietas-varietas tersebut menjadi biotipe 2. Maka terjadilah ledakan hama wereng biotpe 2 di awal tahun 1980an. Kemudian diIntroduksi IR30, IR32, dan IR36, sedangkan varietas yang dirakit sendiri adalah Semeru, Citarum, Cimandiri dan Cisadane yang memiliki rasa nasi baik untuk mengatasi serangan wereng biotipe 2.
Pada tahun 1986 terjadi perubahan hama wereng menjadi biotipe 3, untuk mengatasi hal tersebut diintroduksi varietas tahan biotipe 3 yaitu IR66. Namun yang paling fenomenal adalah varietas IR64 dilepas pada tahun 1986. Varietas ini menempati urutan pertama hingga saat ini dalam luas penyebarannya. Varietas rakitan sendiri yang tahan biotipe 3 adalah Barumun (1991) dan Memberamo (1999). Pada tahun 2000 an sejumlah varietas padi dirilis dengan latar belakang genetik IR64, seperti way apo buru, Ciherang, Cisantana, Angke, Code, Ciujung, Cibogo, Cigeulis, dan Mekongga.
Pada tahun 2003 dilepas padi tipe baru, yang merupakan idiotipe padi masa depan dengan anakan sedikit tetapi jumlah gabah per malai banyak. Pada tahun 2001 dilepas varietas hibrida pertama Intani 1 dan 2 dari PT Biji, sedangkan dari institusi pemerintah Maro dan Rokan, hingga 2007 telah dilepas 30 varietas hibrida di Indonesia. Pada level pengujian varietas hibrida memiliki hasil lebih tinggi 10-20% dibanding dengan inbrida.
Hingga tahun 2007 jumlah varietas padi yang telah dilepas sebanyak 190 buah dari berbagai macam zona agro ekosistem (ZAE) padi dan karakter-karakter unik yang dimilikinya. Namun demikian dominansi hanya pada beberapa varietas yaitu IR64 , Ciherang, Way apo buru dan Memberamo. Hal tersebut sangat mengkwatirkan mengingat perkembangan hama penyakit sangat dinamis terlebih jika adanya keseragaman genetik di lapangan.
Menurut Darwanto (1993) berdasarkan analisis faktor produksi, adopsi varietas unggul dalam peningkatan produksi padi nasional berada pada peringkat pertama selanjutnya adalah penggunaan pupuk, pembangunan irrigasi dan angka buta huruf petani.
DAFTAR PUSTAKA
Darwanto, D.H. 1993. Rice Varietal Improvement and Productivity Growth in Indonesia. Unpublished Ph.D. Dissertation. University of The Philippines, Los Banos
IRRI. 2007. Varietas unggul padi sawah 1943-2007 Informasi Ringkas Teknologi Padi.Rice Knowedge Bank.IRRI
Jatileksono, T. 1987. Equity Achievement in the Indonesian Rice Economy. Yogyakarta. Gajah Mada University Press
LITBANG DEPTAN. 2007. Petunjuk Teknis PTT :Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian .Jakarta.
Lokollo E.M. 2002.Adoptionand Productivity Impacts of Modern Rice Technology in Indonesia. Paper presented on the Workshop on Green Revolution in Asia and Its Transferability to Africa,December 7-10, 2002, Tokyo, Japan
Suyamto, I.Las, H.Sembiring dan M.Syam. 2007. Tanya Jawab Tentang PTT. PUSLITBANGTAN.Bogor.

Definisi pemuliaan tanaman

DEFINISI PEMULIAAN TANAMAN
1. Pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan. (Undang-undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2000 tentang perlindungan varietas tanaman)
2. Pemuliaan tanaman adalah suatu teknologi dan seni untuk memanipuasi gen dan kromosom atau kemampuan genetik tanaman sehingga sifat-sifat tanaman tersebut menjadi mulia dan lebih berguna sesuai dengan keperluan manusia yang selalu meningkat (Ahmad Baehaki dalam Nani Hermiati 2000. Diktat Kuliah Pengantar Pemuliaan Tanaman.Fakultas Pertanian UNPAD Bandung)
3. Plant breeding is the science, art, and business of improving plants for human benefit. (Bernardo, R. 2002. Breeding for quantitative traits. Stemma Press,Minneapolis, MN)
4. Pemuliaan tanaman adalah ilmu tentang perubahan susunan genetic sehingga memperoleh tanaman yang menguntungkan manusia (Poespodarsono Sumardjo. 1988. Dasar-dasar ilmu oemuliaan tanaman.PAU IPB-Lembaga sumberdaya informasi IPB).
5. Plant breeding implies the conscious human effort aimed at improving old and developing new varieties of crops in order to satisfy the demand for human and animal feed. Borojevic Slavsko. 1990. Development of crop science: Principles and method of plant breeding. Elsevier. New York)
6. Plant breeding is use of techniques involving crossing plants to produce varieties with particular characteristics (traits), which are carried in the genes of the plants and passed on to future plant generations. Agricultural Biotechnology glossary, USDA <http://www.usda.gov.us/ERS/brefing room.html >4/4/2008
7. Plant breeding is an applied, multidisciplinary science. It is the application of genetic principles and practices associated with the development of cultivars more suited to the needs of humans than the ability to survive in the wild; it uses knowledge from agronomy, botany, genetics, cytogenetic, molecular genetics, physiology, pathology, entomology, biochemistry, and statistics (Schlegel, R.H.J. 2003. Dictionary of plant breeding. Food Products Press/The Haworth Reference Press, New York.)
8. The ultimate outcome of plant breeding is mainly improved cultivars. Therefore, plant breeding is primarily an organismal science even though it is eminently suited to translate information at the molecular level (DNA sequences, protein products) into economically important phenotypes. (Gepts Paul and Jim Hancock. 2006. The future of plant breeding. Crop Sci. 46:1630–1634)
9. The traditional definition of a plant breeding includes science which develop new cultivars and improved germplasm; however, many feel this definition should be expanded to include science which contribute to crop improvement through breeding research (Ransom, C., C. Drake, K. Ando, and J. Olmstead. 2006. Report of breakout group 1: What kind of training do plant breeders need, and how can we most effectively provide that training? HortScience 41:53–54)
10. A broad definition of plant breeding usually refers to the purposeful manipulation of genetic material through hybridization, mutation, or genetic engineering to produce new genotypes followed by selection of outstanding individuals to establish cultivars which are populations of related plants with economic value (Bliss A.Fredrick . 2007. Education and Preparation of Plant Breeders for Careers in Global Crop Improvement .International plant breeding symposium. Crop science society of America. Madison WI USA, Desember 2007.pp250-261)
11. Plant breeding is the purposeful manipulation of certain species of plants in order to create desired varieties to achieve specific purposes. The manipulation may be done in several ways. It can either be by means of controlled pollination or the direct manipulation of the plant’s genes as in genetic engineering. This usually progresses into artificial selection new strains that will eventually lead to domestication. Plant breeding is a practice in making plants develop better strains for as early as thousands of years ago. It started with plant domestication practices that allowed early humans to produce and grow plants with fewer undesirable traits from wild strains. Many of the crops today were a result of plant domestication during the ancient times. 4/4/2008.
12. Plant breeding is technical components, for example, applied science, multidisciplinary approaches based on genetic principles, improved germplasm, new cultivars suited to human needs and transfer of few to many genes controlling simple to complex traits resulting in economically important phenotypes. (Lee, E.A., and J.W. Dudley. 2006. Plant breeding education. p. 120–126. In K.R. Lamkey and A.R. Hallauer (eds.) Plant Breeding: The Arnel R. Hallauer Int. Symp., Mexico City. 17–23 Aug. 2003.Blackwell Publ. Ltd., Oxford, U.K)

biosintesis tRNA

Transfer RNA (tRNA) merupakan molekul kecil yang memiliki 75-95 nukliotida. Dalam stiap sel memiliki bermacam-macam molekul tRNA. Fungsi utama tRNA adalah membawa asam amino dalam proses translasi kodon mRNA menjadi rangkaian asam amino yang kemudian membentuk protein. Struktur sekunder dari tRNA berbentuk daun waru (clover leaf) (gambar 1 dan 2).
tRNA memiliki peran penting sebagai adaptor antara mRNA dan protein, dimana interaksi antikodon dengan mRNA pada salah satu ujung L yang membawa asam amino dan pada ujung lainnya berfungsi sebagai tempat berkondensasinya ikatan peptida yang terbentuk dari pengabungan antara tRNA yang lainnya di komplek ribosom.
Terdapat lima bagian tRNA, yaitu :
1. Bagian tangan asam amino, pada kedua ujung 5’ dan 3’. Spesifik asam amino terikat secara kovalen pada ujung 3’.
2. Bagian tangan DHU mengandung basa dihydrouracil.
3. Bagian tangan tambahan, tidak selalu ada, panjang dan besarnya bervariasi tergantung jenis tRNA
4. Bagian tangan anti kodon berupa lengkungan yang mengikat triplet anti kodon.
5. Bagian T-Y-C bagian ini terdiri dari tiga ribonucleotides, ribothymidine, pseudouridine and cytosine
Gambar 1. Struktur sekunder tRNA 3 dimensi
Proses translasi bisa berjalan jika tRNA matang tersedia dan dikenali oleh aminoacyl tRNA synthetase untuk mengikat asam amino pada ujung 3’. Melalui reaksi biokimia :
Amino acid + ATP à Amino acid-AMP + OH-tRNA à Amino acid-O-tRNA + AMP + 2PPi
Ikatan amino acid tRNA merupakan ikatan kaya energi sehingga memudahkan asam amino membentuk ikatan peptida dengan asam amino selanjutnya untuk membentuk protein (Gambar 2).

Gambar 2. Proses aminoacilasi tRNA dan translasi mRNA
tRNA dibuat dari rangakai DNA dengan bantuan RNA polimerase III. Pertama kali yang terbentuk adalah prekursor (pre) tRNA berupa dalam bentuk mononumerik. Untuk dapat digunakan sebagai adaptor perlu ada proses aminoacylasi sebagai mana dijelaskan diatas. Dalam proses ini diperlukan tRNA yang matang (mature). Sejumlah proses enzimatik terlibat dalam reaksi pembentukan dari pre tRNA sampai tRNA matang.
Pada organisme prokariotik tRNA bersama-sama dengan 5S, 16S dan 23SrRNA ditranskripsi dari DNA dengan bantuan enzim polimerase RNA III (gambar 3).
Gambar 3. Transkripsi tRNA dan rRNA pada prokariotik
Pada organisme eukariotik tRNA berasal dari transkripsi DNA dengan bantuan RNA polimerase III di nukleoplasma. Adanya A box dan B box yang ada dalam membedakan dengannya dengan proses transkripsi pada prokariotik (gambar 4). RNA polimerase III dibantu oleh faktor proetein TFIIIB dan TFIIIC yang menempel pada promoter, sedangkan pada rRNA memiliki faktor protein yang sama namun ada tambahannya yaitu TFIIIA.
Gambar 4. Transkripsi tRNA pada eukariotik
Setelah proses transkripsi selesai pre tRNA dibawa ke sitoplasma yang kemudian terjadi proses pematangan tRNA yang memiliki lima langkah utama (gambar 5):
1. Pemutusan kepala 5’ oleh RNase P. Proses ini membutuhkan ribonukleo komplek.
2. Pemutusan ekor 3’ oleh kombinasi endonuklease dan exonuklease.
3. Penambahan CCA khusus pada organisme eukariotik.
4. Pemutusan intron, terutama pada organisme eukariotik.
5. Modifikasi sejumlah residu tRNA.
Gambar 5. Skema pre tRNA menjadi RNA matang. Nukleotida digambarkan dengan lingkaran. Bagian tRNA matang (hijau), kepala dan ekor berupa (ungu), intron (biru) dan anti kodon (merah).

Sumber :
Anita K. Hopper and Eric M. Phizicky. 2003 tRNA transfers to the limelight. Genes & Dev. 17: 162-180

fungsi intron

Intron berasal dari singkatan “intragenic regions”, yang merupakan bagian yang tidak berkode dari precursor mRNA (pre-mRNA), yang dibuang sebelum mRNA siap ditranslasi. Ketika intron telah dibuang dari pre-mRNA, hasilnya adalah exon, bagian mRNA yang berkode. Bagian exon lah yang ditranslasi menjadi protein.
Intron ditemukan umumnya pada spesies eukariotik, dan jarang ditemukan pada spesies prokariot. Hasil penelitian Deutch dan Long (1999) menyimpulkan bahwa ukuran genome berkorelasi dengan panjang intron per gen, contohnya intron yang ada pada gen hewan invertebrate lebih pendek dibandingkan dengan dengan intron yang ada pada gen manusia, dan lebih panjang dibandingkan dengan jamur. Panjang dan ukuran intron berbeda pula pada satu spesies yang sama dan berbeda pada gen yang berbeda dalam satu individu. Intron sering ditemukan dalam genome eukariotik dalam pasangan AU atau AC.
Intron terdiri dari 4 kelas : intron inti, intro grup I, intron grup II dan intron grup III. Intron inti, atau disebut pula splisiomal intron merupakan bagian intron yang diputus oleh spliceosome. Ada beberapa rangkaian khusus yang mendukung proses identifikasi pemutusan (spalacing) oleh intron ini. Intron I, II dan III merupakan inton yang dengan tanpa spleceosom dalam prosesi splacing dari pre mRNA. Intron I melakukan spacing dengan bantuan nukleosida guanine bebas. Intron grop II dan III proses pemutusan melalui lintasan Lariat, yang mempunyai fungsi yang sama dengan spleceosome, yang kemungkinan merupakan hasil dari evolusi spliceosome.
Ada dua hipotesis mengenai mengapa intron terbentuk :
1. Intron- Early (IE), Pada awalnya intron banyak ditemukan pada organism purba/awal prokariotik maupun eukariotik. Kemudian intron menghilang pada organism prokariotik disebabkan untuk efesiensi kelangsungan hidupnya. Fakta yang menjadi dasar teori ini adalah intron memfasilitasi exon sebagai domain dalam pembentukan potein. Model ini memungkinkan adanya evolusi gen baru.
2. Intron-Late (IL). Pada awalnya intron berupa parasit yang memiliki gen yang disebut transposable elemen. Gen ini masuk pada organism yang tidak memiliki intron kemudian terakmulasi sehingga terbentuk dalam rangkain DNA yang ditranskripsi sebagai intron. Model ini didasarkan pada adanya speciomal intron yang ditemui hanya pada organism eukariotik
Sel membutuhkan sejumlah energi untuk membentuk sejumlah intron dalam rangkaian DNA, tapi mengapa dalam proses transkripsi intron begitu saja di buang, ada sesuatu alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Intron mempunyai fungsi diantaranya :
1. Fungsi intron adalah mengatur aktivitas gen mengatur gen dalam setiap tahap pertumbuhan dan perkembangan suatu organism dan kebutuhan biologis sesaat melalui kontrol ekpresi gen. Intron inti bisa bersifat sebagai katalis dari beberapa reaksi kimia, yang disebut ribozyme. Ribozim memfasilitasi pemotongan intron dengan sendirinya (self splicing), sehingga protein yang ditranslasi menjadi hanya protein yang bermanfaat saja.
2. Struktur stabil yang ada pada intron memungkinkan intron dapat melindungi pre mRNA dari degradasi enzim.
3. Intron menghasilkan variasi fenotipik dengan mengatur atau memfasilitasi trasposisi dari exon. Pembuktian hal ini berasal dari kenyataan bahwa intron berada pada dua batas domain pada molekul DNA, dinamakan Exon shuffling. Mekanisme ini memungkin adanya variasi kombinasi exon baru.
4. Beberapa intron mempunyai fungsi mengontrol rangkaian proses pada kromosom X, hal ini penting dalam menentukan jenis kelamin pada tanaman dan vertebrata. gen Sxl merupakan pengatur utama dalam penetuan jenis kelamin dan fungsinya adalah mengatur intron yang dipotong pada mRNA. Gen Sxl menghalagi pemutusan intron pada betina, sehingga menghentikan betina memproduksi protein fungsional msl-2. Gen msl-2 juga dikontrol oleh dengan memutus intron pada jantan, tidak pada betina. Jantan tidak memiliki gen Sxl, sehingga proses expresi gen msl-2 dapat berjalan.
5. Intron tidak mempunyai fungsi dalam proses translasi, tapi mempengaruhi peran dalam pengaturan sintesis protein. Intron yang tidak terpotong (unspliced) yang ada dalam mRNA mengakibatkan penyimpangan dalam expresi gen, contohnya terbentuk sel kanker.

Sumber :
Deutsch, M. and M. Long 1999. Intron–exon structures of eukaryotic model organisms. Nucleic Acids Research. 27( 15): 3219–3228
Jerry Bergman. 2001. The Functions of Introns: From Junk DNA to Designed DNA. Perspectives on Science and Christian Faith. 53(3): 23-34

bagaimana gen berekpresi

Jumlah total gen (genom) yang ada pada manusia sekitar 30.000 tidak jauh berbeda dengan gen yang diketahui pada tanaman Arabidopsis thaliana sebanyak 25.000. Timbul pertanyaan bagaimana kompleksitas gen dapat terjadi? jawabannya ada pada sistem pengaturan gen, bagaimana gen tersebut berhenti bekerja (switching on) dan berhenti bekerja (swithching off). Sistem ini juga secara tepat mengatur seberapa jumlah produk gen yang harus dibuat. Oleh karena itu sistem ini membutuhkan sejumlah pengatur (regulatory input point). Setiap pengaturan terjadi saat transkripsi DNA, dengan demikian setiap mRNA akan memproduksi gen yang dibutuhkan saja. Sel juga mengatur pada ekpresi gen melalui post-transcriptional modification, yaitu dengan hanya memperbolehkan sejumlah set mRNA utuk melakukan translasi, atau menghalagi spesifik set mRNA yang lain ketika produk yang diinginkan akan dibuat.
Pada level yang lain, sel mengatur ekpresi gen melalui pemecahan DNA, pemodifikasi basa nukleotida dan pemprosesan umpan balik yang rumit, dimana setiap gen yang memproduksi spesifik protein akan menghentikan pembentukan protein lebih lanjut.
Untuk membahas hal tersebut lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui proses bagaimana gen membentuk protein seperti dalam teori gen sentral dogma (gambar 1).

Transkripsi
Transkripsi adalah proses dimana RNA dibuat dari DNA. Proses ini dimulai ketika enzim RNA polymerase, menempel pada bagian DNA yang dinamakan rangkai promoter (promoter sequence). Tanpa adanya promoter proses transkripsi tidak akan terjadi. Sebagai contoh promoter pada bakteri berupa rangkaian 5’-TTGACA dipisahkan oleh 17 basa dan diakhiri TATATT-3’. Padas sel eukariot komponen promoternya adalah TATA atau disebut kotak TATA (TATA box) setiap spesies berbeda jumlah basa neukleotida pemisahnya (gambar 2).
Pada beberapa kasus, RNA polimerase dibantu oleh group protein, yaitu faktor transkripsi (transciption factor) dan faktor aktifator (activator factor), dan faktor repressor (repressor factor). Fungsi khusus faktor transkripsi adalah mengenali rangkain DNA dan mengatur aktivitas enzim RNA polimerase. Faktor transkripsi bekerjasama dengan fakor activator yang menempel pada rangkain ‘enhancer’ yang kemudian menginisiasi RNA polimerase untuk melakukan proses transkripsi. Faktor lainnya adalah repressor yang kemudian menempel pada bagian “non coding DNA” yang disebut “silencer”. Bagian ini overlapping atau berlawanan dengan promoter kemudian repressor menghentikan RNA polimerase bekerja dan menghentikan proses ekpresi gen.
Setelah DNA berhasil membuat RNA dalam proses transkripsi disebut RNA copy, proses berikutnya adalah capping, splicing dan penambahan poly(A)tail (gambar 3).
1. Capping adalah proses perubahan lima primer mRNA menjadi tiga primer mRNA melalui pautan 5’-5’. Proses ini berguna agar mRNA dapat menempel pada ribosom dan menghindari terdegradasinya mRNA oleh enzim 5’ exonulcease.
2. Splicing adalah membuang intron, bagian yang tidak memiliki kode (non coding region), sehingga mRNA hanya terdiri dari exon saja, yaitu bagian yang memiliki kode (coding region). Terdapat perbedaan sistem transkripsi pada sel prokariot dan eukario. Sel prokariot umumnya mentranskripsi dari satu promoter yang berlangsung secara kontinu, sedangkan pada sel eukariot biasanya transkripsi terjadi satu kali dan mengkode sejumlah rangkaian mRNA yang tidak mempunyai intron. Proses ini dibantu oleh splicesome yang menempel pada intron, menjadikan intron melingkar dan memotongnya. Dengan demikian dua exon dapat bergabung.
3. Penambahan poly(A)tail atau disebut polyadenilation adalah penambahan rangkaian mRNA pada bagian ujung 3’. Maksud penambahan ini untuk menghindari degradasi oleh 3’exonuclese, sehingga umur mRNA bertanbah panjang.

Translasi
Proses translasi terjadi pada ribosom yang menempel pada reticulum endoplasma. mRNA yang membawa kode genetik berupa sejumlah huruf codon, yang digunakan untuk menyeleksi asam amino tertentu yang spesifik dengan jenis codon. Proses translasi terdiri dari tiga tahap, yaitu inisiasi,elongasi dan terminasi.
1. Inisiasi selalu dimulai dengan codon AUG, yang mengkode asam amino metheionin (met). Pada saat mRNA mendekati ribosom ujung 5’ menangkap molekul 7-methyl-guanyl atau disebut cap binding protein (CBP). Protein ini mengatur mRNA untuk berada pada bagian permukaan ribosom yang disebut 40S ribosomal unit. Pada waktu yang sama tRNA mengikat asam amino methionin dengan bantuan enzim amino acyl t RNA transferase. Setiap codon yang dibawa mRNA mempunyai mempunya masing-masing tRNA, kecuali untuk stop codon. Spesifikasi codon untuk tRNA ditentukan oleh rangkain tiga basa yang menjadi komplementer codon mRNA, yang disebut anti codon. Menempelnya asam nukleat methionin bersama dengan terbentuknya anti-codon merupakan akhir dari tahap inisiasi.
2. Elongasi dikatalisasi oleh sejumlah rRNA (ribosomal RNA) bersama dengan serangkaian faktor protein elongasi yang membawa seri tRNA selanjutnya yang berasosiasi dengan tRNA sebelumnya. Proses terus berlanjut sampai menemui stop codon. Setiap tRNA membawa masing-masing asam nukleat, sehingga terbentuk sekumpulan asam nukleat yang diikat oleh ikatan peptide membentuk protein.
3. Terminasi adalah proses akhir translasi. Proses ini dimulai dengan stop codon memasuki ribosom. Tidak ada tRNA untuk stop codon dan ikatan peptide terbebas dari ribosom. Proses ini dibantu oleh beberapa faktor protein terminasi. A

Gambar 1. Proses sintesis protein setral dogma


Gambar 2. Skema dari gen sel eukariot

Gambar 3. Proses caping dan penamban poly(A)tail



Contoh kasus bagaimana gen bekerja (switch on and off).
1. Pada bakteri E.coli yang diberi cekaman panas, σ32 subunit dari its RNA polymerase berubah. Enzim tersebut memberikan sinyal ke promotor untuk mengekpresikan gen agar menghasilkan protein yang merespon panas.
2. Ketika sel E.coli surplus sejumlah asam amino trypthopan, ikatan asam pada protein represor (trypthophan repressor) menjadi terinduksi. Ikatan merupah struktur repressor pada bagian operator untuk mensinyal agar mengehentikan produksi tryptophan. Proses ini disebut negatif feed back.
3. Mekanisme ekpresi tanggapan gen terhadap stress lingkungan, pada tanaman model Arabidopsis thaliana (Gambar 4)

Sumber Pustaka
1. Shinozaki K. and K. 2007. Yamaguchi-Shinozaki Functional genomics for gene discovery in abiotic stress response and tolerance. In Rice Genetic V. Proceedings of the Fifth International Rice Genetics Symposium. IRRI.
2. Choudhuri S. 2004. Gene Regulation and Molecular Toxicology. Toxicology Mechanisms and Methods 15 (1): 1-23
3. Kreuzer H and A. Massey. 1996. Recombinant DNA and Biotechnology:A guide for teacher.ASM Press. Washington D.C.
4. Lewis B. 1987. Gene. Third edition. John Willey and Son. New York.